PENTINGNYA PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA
Pertanian
mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian yaitu kontribusi
produk dalam sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan juga
kontribusi pasar. Peran penting lainnya adalah dalam penyediaan
kebutuhan pangan manusia apalagi dengan semakin meningkatnya jumlah
penduduk yang berarti bahwa kebutuhan akan pangan juga semakin
meningkat. Di Indonesia sebagai Negara agraris, ada peran tambahan dari
sektor pertanian yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat yang
sebagian besar sekarang berada di bawah garis kemiskinan. Menurut BPS
(Badan Pusat Statistik), jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 mencapai
36,147 juta orang, dan 21,265 juta (58,8%) di antaranya bekerja di
sektor pertanian.
Menurunnya
tingkat kontribusi sektor pertanian terhadap PDB dan adanya ancaman
kerawanan pangan yang disertai dengan ancaman ketergantungan terhadap
pangan impor (food trap)
serta masih banyaknya petani yang masih berada dibawah garis kemiskinan
maka perubahan menuju yang lebih baik malalui pembangunan pertanian
sangat diperlukan. Hakikat dari pembangunan adalah peningkatan
kesejahteraan masyarakat sehingga dalam pembangunan harus berlandaskan
pada pemerataan. Jadi bukan masalah peningkatan materi sebagai tujuan
yang pertama dan terutama. Demikian juga dalam pembangunan pertanian,
yang pertama-tama adalah bukan masalah peningkatan produksi pertanian
melainkan upaya pembebasan manusia petani, dan termasuk di dalamnya
adalah peningkatan kesejahteraan pada umumnya. Peningkatan produksi
pertanian menjadi faktor yang ada di dalamnya dan hasil yang
mengikutinya.
Peran Pertanian dalam Sektor Ekonomi
Selama
periode sepuluh tahun terakhir kontribusi pertanian terhadap pendapatan
nasional atau PDB Indonesia mengalami penurunan dari sekitar 50% pada
tahun 60-an menjadi 20,2% pada tahun 1997. Pada tahun 1998 kontribusi
sector pertanian terhadap pendapatan PDB secara absolute masih menurun,
walaupun sector pertanian merupakan satu-satunya sector ekonomi yang
mengalami pertumbuhan (0,26%), diantara perpaduan seluruh sector ekonomi
yang mencapai minus 14%.(data kontribusi pertanian-PDB)
Sebelum
krisis ekonomi berlangsung, pertumbuhan sector pertanian secara umum
juga tidak secerah sector-sektor perekonomian lainnya, yaitu tidak lebih
dari 3% pertahun selama pelita V khususnya, sangat jauh jika
dibandingkan dengan sector industri yang mengalami pertumbuhan sampai 2
digit. Pada tahun 1996, pertumbuhan sector pertanian juga masih berkisar
3% pertahun, sedangkan pada tahun 1997 sektor pertanian juga masih
belum mengalami lonjakan pertumbuhan yang berarti atau tumbuh tidak
sampai mencapai 3% (Arifin, 2001).
Teori
ekonomi pembangunan modern umumnya sepakat bahwa semakin berkembang
suatu Negara, maka akan semakin kecil kontribusi sector pertanian atau
sector tradisional dalam PDB. Jika pendapatan meningkat, maka proporsi
pengeluaran terhadap bahan makanan akan semakin menurun. Dalam istilah
ekonomi, elastisitas permintaan terhadap makanan semakin kecil dari satu
atau tidak elastis (inelastic).
Karena fungsi sector pertanian yang paling penting dalah untuk
menyediakan bahan-bahan makanan, maka peningkatan terhadap bahan makanan
tidaklah sebesar permintaan terhadap barang-barang hasil industri dan
jasa. Dengan sendirinya kontribusi sector pertanian terhadap PDB akan
semakin kecil dengan semakin besarnya tingkat pendapatan pada sector
non-pertanian. Secara sederhana dapat dituliskan dalam bentuk persamaan:
Keterangan:
P = Net produk nasional
Pa = Net produk Pertanian
Pna = Net produk non-pertanian
Sebagai
upaya untuk meningkatkan kontribusi sector pertanian dalam PDB khususnya
dan gairah perekonomian pada umumnya, pemerintah harus mampu
menciptakan integrasi kebijakan industrialisasi nasional yang berbasis
pada pertanian. Kebijakan yang lebih memilih berpihak pada sector
industri dengan mengabaikan integrasi antara industri dan pertanian
harus diubah. Pengambil kebijakan selama ini menganggap bahwa
pembangunan adalah identik dengan pertumbuhan ekonomi sehingga kebijakan
yang diambil juga, menurut Lypton dalam Momose (2001), adalah bias
perkotaan yang dicirikan: 1) mempriorotaskan industri daripada
pertanian, 2) pengalokasian sumberdaya yang lebih besar ke masyarakat
kota daripada masyarakat desa, 3) memprioritaskan industri daripada
pertanian.
Sebagai
Negara agraris seharusnya sector pertanian diprioritaskan lebih dulu,
jika industrialisasi akan dilakukan. Keberhasilan sector industri
tergantung dari suatu pembangunan pertanian yang dapat menjadi landasan
pertumbuhan ekonomi. Menurut rahardjo (1990) ada dua alasan mengapa
sector pertanian harus dibangun terlebih dahulu:
1. barang-barang
hasil industri memerlukan dukungan daya beli masyarakat petani yang
merupakan mayoritas penduduk Indonesia, maka pendapatan mereka perlu
ditingkatkan melalui pembangunan pertanian.
2. Industri
juga membutuhkan bahan mentah yang berasal dari sector pertanian dan
karena itu produksi hasil pertanian menjadi basis bagi pertumbuhan
industri itu sendiri.
Alasan kedua
diatas dapat memberikan petunjuk bahwa industri yang cocok untuk Negara
agraris adalah industri yang berbasis pada pertanian atau
agroindustri. Masing-masing industri harus mempunyai keterkaitan antara
hulu sampai ke hilir.
Kenyataan sekarang ini dari ketiga subsistem yang ada – hulu (penyedia sarana produksi, onfarm/
(usahatani), dan hilir (pengolah hasil)- dalam semua subsektor komoditi
berjalan tersekat-sekat. Maing-masing berjalan sendiri-sendiri dan
memikirkan keuntungan sendiri. Sebagai pihak yang lemah petani sering
menjadi objek eksploitasi dari subsistem hulu dan hilir.
Contoh
kasus, produk pertanian sering ditolak atau dihargai murah oleh industri
pengolahan hasil pertanian dengan alas an kandungan pestisida yang
tinggi atau lasan lain semisal tidak terpenuhinya kualitas. Pada kasus
pestisida sebenarnya sector hulu juga berperan dalam mendorong petani
menggunakan pestisida, bagaimana mereka mempromosikan produksnya untuk
digunakan dalam pemberantasan hama penyakit tanaman.
Kebutuhan Pangan di Indonesia.
Dalam soal
kecukupan pangan Indonesia masih cukup beruntung. Hingga kini belum ada
kasus kelaparan yang meluas-kalaupun ada masih dalam sekala kecil
meskipun kadang-kadang para aparatur pemerintah setempat tidak
mengakuinya. Tidak seperti di sejumlah Negara di sub Sahara Afrika dan
Asia lainnya yang penduduknya kesulitan mendapatkan pangan. Tetapi
keadaan Indonesia bukanlah akan selamanya aman-aman saja. Ancaman
kesulitan untuk mendapatkan pangan suatu saat bisa terjadi. Hal ini
dapat diprediksikan dengan adanya sejumlah fakta seperti pada tahun 1999
impor gandum mencapai 3,5 juta ton, jagung 1,2 juta ton, beras 5 juta
ton, kedelai 1,2 juta ton, gula pasir 1,7 juta ton dan berbagai produk
lainnya seperti sayur, buah-buahan serta daging dari tahun ke tahun
angka impor terus naik (kompas, 2001). Impor pangan ini diperkirakan
akan semakin besar karena jumlah penduduk Indonesia semakin meningkat.
Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Pangan (update)
Komoditas | Kebutuhan Nasional | Produksi Dalam Negeri |
Beras
Daging Telur Susu Gula Ayam |
36 juta ton
6 juta ton 36 milyar butir 4,8 milyar liter 10 juta ton 3,2 juta ton |
29 juta ton
2, 2 juta ton 12,6 milyar butir 1,2 milyar liter 1,9 juta ton 0,75 juta ton |
Sumber: HKTI dalam Kompas, 16 Oktober 2001
Bila tidak
ada upaya penanganan maka deficit pangan akan berlanjut dan bukan tidak
mungkin kelaparan akan terjadi dimana-mana. Dalam upaya untuk mencukupi
kebutuhan pangan nasional selama ini pemerintah cenderung mengandalkan
pangan impor. Produk pangan dari luar negeri masuk dengan harga murah
karena adanya subsidi yang besar bagi petani di Negara maju. Sebagai
contoh, Negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Corporation and Development
(OECD) menyediakan subsidi hingga 327 milyar dollar AS. Nilai ini sama
dengan dua kali dari ekspor produk pertanian dari Negara berkembang atau
limabelas kali dari produk domestic bruto sector pertanian Indonesia
(Kompas, 16 oktober 2001). Ditambah lagi dengan adanya kebijakan
pemerintah yang membebaskan bea masuk terhadap beberapa komoditas
seperti gula dan beras. Membanjirnya produk pangan luar negeri sungguh
sangat merugikan petani dan menguntungkan pedagang. Kehidupan petani
semakin terpurukkarena produk local mempunyai biaya produksi yang tinggi
dan tanpa subsidi (subsidi pupuk dicabut).
Kemiskinan dan Petani
Kemiskinan
merupakan masalah utama yang dihadapi oleh Negara-negara berkembang dan
ini tidak bisa dipisahkan dengan masalah pembangunan pertanian dan
pedesaan karena sebagian besar penduduknya tinggal di pedesaan yang
basis perekonomiannya adalah pertanian. Indonesia hampir 60% penduduknya
adalah petani sehingga kesejahteraan petani menjadi indicator
sejahteranya mayoritas rakyat Indonesia. Begitu sebaliknya, keprihatinan
petani adalah keprihatinan bagian terbesar rakyat Indonesia.
Jumlah dan
persentase penduduk miskin pada periode 1996-2005 berfluktuasi dari
tahun ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun pada
periode
2000-2005
(Tabel 2). Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat
sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada
tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Persentase penduduk
miskin meningkat dari 17,47 persen menjadi 23,43 persen pada periode
yang sama.
Pada periode
1999-2002 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 9,57 juta,
yaitu dari 47,97 juta pada tahun 1999 menjadi 38,40 juta pada tahun
2002. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin
dari 23,43 persen pada tahun 1999 menjadi 18,20 persen pada tahun 2002.
Penurunan
jumlah penduduk miskin juga terjadi pada periode 2002-2005 sebesar 3,3
juta, yaitu dari 38,40 juta pada tahun 2002 menjadi 35,10 juta pada
tahun 2005. Persentase penduduk miskin turun dari 18,20 persen pada
tahun 2002 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005.
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia
Menurut Daerah, 1996-2005
Tahun | Jumlah Penduduk Miskin (Juta) | Persentase Penduduk Miskin | ||||
Kota | Desa | Kota + Desa | Kota | Desa | Kota + Desa | |
1996
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 |
9.47
17.60 15.64 12.30 8.60 13.30 12.20 11.40 12.40 |
24.59
31.90 32.33 26.40 29.30 25.10 25.10 24.80 22.70 |
34.01
49.50 47.97 38.70 37.90 38.40 37.30 36.10 35.10 |
13.39
21.92 19.41 14.60 9.76 14.46 13.57 12.13 11.37 |
19.78
25.72 26.03 22.38 24.84 21.10 20.23 20.11 19.51 |
17.47
24.23 23.43 19.14 18.41 18.20 17.42 16.66 15.97 |
Sumber: BPS, 2006
Salah satu
indicator yang dapat dijadikan ukuran kesejahteraan pertanian adalah
INTP (Indeks Nilai Tukar Petani). INTP adalah rasio indeks harga yang
diterima petani dari pasar terhadap produksi pertaniannya dengan indeks
harga yang dibayar petani untuk mendapatkan sarana produksi
pertaniannya, dan barang serta jasa yang dikonsumsinya. Jika INTP di
atas 100 dapat diartikan bahwa daya beli masyarakat petani lebih baik
dari tahun dasar atau dengan kata lain tingkat kesejahteraan petani
lebih baik dari tahun dasar. Namun jika di bawah 100, yang terjadi
adalah sebaliknya, kesejahteraan petani makin memprihatinkan dan
cenderung semakin memprihatinkan. Selama januari – September 2005
menunjukkan bahwa INTP baik di Jawa maupun di luar Jawa rata-rata
mengalami penurunan. Bahkan di Jawa INTP berada di bawah 100.
Masalah
kemiskinan ini tidak dapat dipisahkan dari factor penyebabnya.
Sebagaimana masalah kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan
natural, cultural, dan structural (Baswir, 1997). Kemiskinan natural
adalah kemiskinan yang disebabkan oleh factor-faktor alamiah.
Kemisikinan cultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor
budaya . Sedangkan kemiskinan structural adalah kemiskinan yang
disebabkan factor-faktor buatan manusia seperti distribusi asset
produkstif yang tidak merata, kebijakan ekonomi yang cenderung
menguntungkan kelompok masyarakat tertentu.
Anggapan
yang berlaku umum bahwa kemiskinan petani disebabkan karena mereka
bodoh, malas, banyak anak, mentalitas fatalistic, ataupun karena tanah
yang mereka miliki tidak subur. Kemiskinan mereka dianggap bukan karena
ketidakadilan. Tentu benar jika sebagian orang beranggapan bahwa ada
mentalitas dan budaya tertntu yang menyebabkan kemiskinan mereka. Tetapi
ada sebuah akar kemiskinan petani yang sulit dibantah yaitu
faktor-faktor structural. Mereka menjadi miskin karena menjadi bagian
dari golongan masyarakat. Jelaslah bahwa kemiskinan petani bukan karena
datang dengan sendirinya tetapi akibat dari struktur social yang
menentukan kehidupan golongan mereka. Pearse dalam Soetomo (1997)
mengungkapkan:
1. Petani
kecil merupakan kelompok marginal karena keikutsertaannya dalam system
social yang telah meletakkan mereka sebagai elemen yang dibuat
bergantung tak berdaya sepenuhnya (a dependent powerless element).
2. pilihan-pilihan petani ditentukan oleh pihak-pihak diluar petani.
3. petani
terasing dari jaringan informasi actual mengingat keterbatasan
kemampuan kognitif mereka, system transportasi yang belum sempurna, dan
perbedaan cultural serta posisi inferior dalam nteraksi pasar.
Menurut
Krisnamurti (2001), kemiskinan petani karena politik ekonomi pertanian
sekian lama menempakan pertanian di kelas dua. Belum lagi hak-hak petani
tidak pernah dilindungi, konservasi lahan terus terjadi, infrastruktur
irigasi diserobot untuk kepentingan nonpertanian.
Pemerintah
dengan pola yang tidak berubah merangsang petani untuk memproduksi beras
dengan jalan menaikkan harga dasar gabah. Dari tahun ke tahun memang
harga dasar gabah dianaikkan,tetapi kenaikan harga dasar gabah tidak
begitu berpengaruh juga karena setiap kenaikan harga dasar gabah juga
diikuti naiknya pupuk urea. Seperti terlihat pada table 3
.
Tabel 3. perkembangan harga dasar gabah dan harga urea tahun 1984-2005
Tahun | Padi | Urea | Rasio |
1984-1986
1989/90 1996/97 1997/98 1998/99 1999/2000 2000/2001 2001/2002 2002/2003 2003/2004 2004/2005 |
70
230 450 525 1000 1500 1500 1500 1500 1725 1725 |
100
180 330 400 450 1115 1150 1150 1050 1050 1050 |
0.70
1.28 1.36 1.31 2.22 1.35 1.30 1.30 1.43 1.64 1.64 |
Sumber: APPI, 2006
Fenomena
tersebut jelas bahwa mekanisme perbaikan taraf hidup petani belum
berlangsung baik karena disatu sisi harga dasar gabah naik namun di sisi
lain harga pupuk juga naik. Belum lagi petani harus berhadapan dnegan
melinjaknya harga bahan makanan dan barang kebutuhan lain yang bergerak
begitu cepat di pasaran.
0 komentar:
Posting Komentar